Minggu, 31 Agustus 2025

Menjaga Jempol Menyelamatkan Negeri

Kekuatan di Ujung Jari

Di era serba digital ini, setiap dari kita telah menjadi pemegang kekuatan yang luar biasa, sebuah kekuatan yang bersemayam tepat di ujung jari. Cukup dengan satu sentuhan pada layar smartphone yang selalu menemani kita, kita bisa menjangkau sudut-sudut dunia, terhubung dengan jutaan orang, menyuarakan pendapat, dan mengakses samudra informasi. Namun, seperti pedang bermata dua, kekuatan ini membawa konsekuensi besar yang seringkali kita remehkan. Satu klik bisa menjadi alat untuk menyebarkan kebaikan, memobilisasi bantuan, dan menyatukan bangsa. Sebaliknya, satu klik yang ceroboh dan tanpa pemikiran juga bisa menjadi percikan api yang memicu kebakaran besar: perpecahan, polarisasi, dan bahkan kekerasan yang berujung pada anarki serta penjarahan, merobek-robek tenun sosial dan kedamaian yang telah lama kita bangun bersama.

Layar ponsel kita telah bertransformasi, tanpa kita sadari sepenuhnya, dari jendela dunia menjadi “medan pertempuran” yang baru. Di sini, perang tidak menggunakan peluru atau bom, tetapi menggunakan kata-kata, gambar, dan video. Medan tempurnya adalah linimasa, grup obrolan, dan kolom komentar. Prajuritnya adalah kita semua, dan senjatanya adalah jempol kita. Pertanyaannya, prajurit seperti apa kita? Apakah kita menjadi agen yang memelihara perdamaian atau justru menjadi provokator yang menyulut konflik?

 

Dari Dunia Maya ke Kekacauan Nyata

Baru-baru ini, kita telah menjadi saksi bagaimana medan pertempuran digital ini meluap menjadi kekacauan di dunia nyata. Sebuah pola yang terus berulang, sebuah kabar burung (HOAX) yang belum jelas kebenarannya, sengaja disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Provokasi dan ujaran kebencian (hate speech) kemudian ditaburkan seperti bensin, menyulut api amarah dan ketakutan massal.

Yang paling memprihatinkan adalah betapa mudahnya banyak dari kita terpancing. Didorong oleh emosi sesaat, kemarahan, kesetiaan buta, atau rasa takut, kita menanggalkan nalar kritis. Tanpa pikir panjang, kita membagikan informasi yang belum diverifikasi, mempercayainya hanya karena sesuai dengan prasangka atau harapan kita. Kita lalu ikut-ikutan mengetik komentar kasar, mengumpat, dan menghujat, merasa aman di balik layer anonimitas yang diberikan oleh akun digital.

Namun, dampaknya tidak pernah berhenti di dunia maya. Api yang menyala di linimasa dengan cepat menjalar ke jalanan. Aksi unjuk rasa yang seharusnya menjadi saluran aspirasi yang damai dan konstitusional, berubah menjadi anarki yang merusak. Massa yang telah dipanasi oleh narasi beracun di media sosial menjadi sulit dikendalikan. Akhirnya, yang terjadi adalah kerusuhan, pembakaran, penjarahan, dan perusakan fasilitas publik. Rakyat kecil yang justru menjadi korban, usaha mereka hancur, akses mereka terhadap layanan publik terganggu, dan rasa aman mereka terkikis. Ini bukan lagi tentang menyuarakan pendapat, tetapi tentang kehancuran yang merugikan kita semua dan merusak fondasi keharmonisan sosial.

 

Menyelaraskan Iman, Hukum, dan Nalar: Pentingnya Tabayyun

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan hukum, kita seharusnya memiliki kompas moral yang kuat untuk menavigasi medan tempur digital ini. Agama dan hukum memberikan panduan yang sangat jelas.

1. Perspektif Agama (Islam): Perintah Tabayyun

Dalam Islam, konsep verifikasi informasi atau tabayyun bukan sekadar anjuran, tetapi perintah langsung dari Allah SWT. Dalam Al-Qur'an Surat Al-Hujurat Ayat 6, Allah berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang fasik (orang yang tidak dapat dipercaya) datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya (tabayyanu), agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu."

Ayat ini sangatlah relevan dengan konteks zaman now. "Orang fasik" hari ini bisa berupa akun anonim, grup gossip, atau website yang dikenal sebagai penyebar hoax. Perintah "telitilah kebenarannya" adalah seruan untuk melakukan fact-checking, mencari sumber kedua dan ketiga yang kredibel, dan tidak menerima informasi begitu saja. Konsekuensinya pun dijelaskan, kita bisa mencelakakan suatu kaum (komunitas, suku, agama) hanya karena kecerobohan kita. Penyesalan datang kemudian, setelah kerusakan terjadi.

Rasulullah SAW juga mengingatkan kita dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, "Cukuplah seseorang dianggap berdusta jika ia menceritakan setiap apa yang ia dengar." Ini adalah tamparan keras bagi budaya share tanpa membaca, share hanya karena judulnya provokatif, atau share untuk sekadar ikut trending. Setiap informasi yang kita sebarkan tanpa verifikasi adalah bentuk dusta yang kita pertanggungjawabkan.

2. Perspektif Hukum: UU ITE sebagai Rambu-Rambu

Secara hukum, negara telah memasang rambu-rambu yang jelas. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bukanlah alat untuk membungkam kritik, tetapi sebagai payung hukum untuk melindungi tatanan sosial dari penyalahgunaan teknologi informasi.

Pasal-pasal dalam UU ITE, khususnya yang mengatur tentang penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian, dirancang untuk menjerat para pelaku yang menggunakan "jempolnya" sebagai alat kejahatan. Sanksinya tidak main-main, hukuman penjara hingga 6 tahun dan denda miliaran rupiah. Ini menunjukkan betapa seriusnya negara memandang dampak dari sebuah unggahan atau komentar yang merusak. Hukum ada untuk mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan tanpa batas, ia berhenti ketika mulai melanggar hak dan ketertiban orang lain.

 

Tiga Langkah Bijak Menjaga Jempol

Menyalahkan algoritma, buzzer, atau situasi tidak akan banyak mengubah keadaan. Perubahan yang hakiki dan berkelanjutan harus dimulai dari diri sendiri, dari setiap individu pengguna media sosial. Berikut adalah tiga langkah bijak yang dapat kita internalisasikan dan praktikkan:

1. Jeda Sejenak, Verifikasi Berita: Senjata Melawan Hoax

Langkah pertama adalah melatih self-control untuk melawan dorongan impulsif. Emosi adalah musuh terbesar dari nalar kritis.

a.    Apa yang harus dilakukan? Saat menemukan informasi yang sensasional, mengejutkan, atau memancing emosi, JANGAN langsung bagikan. Tarik napas dalam-dalam. Ambil jeda 5 menit. Ingatkan diri untuk tidak menyebarkan berita karena emosi.

    Verifikasi. Gunakan jeda itu untuk: a. Membaca keseluruhan artikel, bukan hanya judulnya. b. Mengecek sumber. Apakah dari media terpercaya? Atau akun abal-abal? c. Mencari konfirmasi. Ketik topik berita tersebut di mesin pencari. Lihat apakah media lain yang kredibel melaporkan hal serupa. d. Memeriksa fakta. Kunjungi situs-situs fact-checking seperti turnbackhoax.id, cekfakta.com, atau Google Fact Check Explorer. e. Melihat tanggalnya. Pastikan bukan berita lama yang diangkat kembali. Dengan melakukan ini, Anda bukan hanya melindungi diri dari menyebar kebohongan, tetapi juga melindungi ratusan orang dalam jaringan pertemanan Anda.

2. Pikirkan Dampaknya. Menanamkan Empati Digital

Sebelum mengetik komentar, balasan, atau status, berhenti sejenak dan lakukan refleksi dampak.

     Apa yang harus dilakukan? Ajukan tiga pertanyaan kunci pada diri sendiri:

        Apakah kata-kata saya ini akan menyakiti perasaan orang lain?

        Apakah komentar ini menambah nilai pada pembicaraan, atau justru menambah masalah dan kebencian?

        Apakah saya berani mengatakan hal ini langsung di depan wajah orangnya?

b.    Ingat, di balik setiap profil picture dan username, ada manusia nyata dengan perasaan, keluarga, dan masalahnya sendiri. Sebuah komentar pedas yang bagi kita adalah "sekadar komen" bisa menjadi beban berat yang menggerogoti mental seseorang selama berhari-hari. Diam adalah kebijaksanaan ketika kata-kata hanya akan menambah luka.

3. Jadilah Agen Kebaikan. Memprogram Ulang Linimasa

Langkah ini adalah langkah proaktif. Kita tidak hanya pasif dengan tidak menyebar keburukan, tetapi aktif menciptakan dan menyebarkan kebaikan.

Apa yang harus dilakukan?

a.    Sebarkan informasi yang bermanfaat, Artikel edukatif, info lowongan kerja, pengumuman komunitas, atau tips kesehatan.

b.    Berikan dukungan dan apresiasi, Beri pujian tulus pada sebuah karya, ucapkan selamat untuk prestasi, atau berikan kata-kata semangat bagi yang sedang susah.

c.     Bagikan cerita inspiratif, Cerita tentang kepahlawanan biasa, gotong royong, dan kebaikan hati akan menyeimbangi narasi negatif.

d.    Koreksi hoax dengan santun, Jika melihat keluarga atau teman menyebar misinformasi, koreksi dengan privat message yang sopan dan sertakan sumber valid. Tujuan bukan untuk "menang" tapi untuk "meluruskan".

Dengan menjadi agen kebaikan, kita secara aktif "memprogram" algoritma untuk memperbanyak konten positif, menjadikan linimasa kita dan orang lain lebih sehat dan menyejukkan.

 

Jempol Kita, Penentu Masa Depan Negeri

Masa depan bangsa Indonesia tidak hanya ditentukan di gedung DPR, istana negara, atau ruang pengadilan. Masa depan kita justru sedang ditentukan setiap hari di ruang tamu, warung kopi, dan genggaman tangan kita, di mana pun jempol kita mengetik.

Membangun negeri di era digital tidak selalu tentang hal-hal yang besar dan heroik. Ia dimulai dari tindakan kecil yang sangat personal, kesadaran untuk jeda sejenak, kesungguhan untuk verifikasi, dan keberanian untuk menyebar kebaikan. Tindakan kecil yang dilakukan oleh jutaan orang ini akan menciptakan gelombang perubahan yang dahsyat.

Mari letakkan senjata kebencian kita. Mari jadikan jempol kita bukan sebagai alat perpecahan, tetapi sebagai “jembatan perdamaian” yang merajut kembali tenun sosial yang mungkin telah sobek. Mari jadikan setiap klik sebagai investasi untuk ketenangan, setiap share sebagai benih kebaikan, dan setiap komentar sebagai pupuk yang menyuburkan persatuan. Dengan menjaga jempol, kita sedang aktif “melindungi dan menyelamatkan negeri” yang kita cintai ini dari kehancuran yang bermula dari sebuah klik.


#MenjagaNegeri #NKRI #BeritaHOAX #EraDigital #Tabayyun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar