Kemudian, sesuatu yang ajaib mulai terjadi.
Seolah-olah ada tangan raksasa yang dengan lembut menutupi sang bulan. Perlahan-lahan, tetapi pasti, cahaya keperakan itu mulai meredup. Sebuah bayangan bulat sempurna mulai menyapu permukaannya, mengubahnya menjadi bola tembaga yang misterius, lalu akhirnya menjadi lingkaran samar yang nyaris tak terlihat. Decak kagum dan beberapa teriakan ketakjuban memecah kesunyian malam. Dalam kegelapan yang tiba-tata, bintang-bintang yang biasanya malu-malu justru tampil dengan segala kemilau mereka.
"Anak-anakku," katanya, suaranya mengalun seperti sebuah nyanyian kuno. "Tadi pagi dini hari, kita semua menjadi saksi sebuah percakapan kosmik. Sebuah dialog sunyi antara bulan, bumi, dan matahari. Sebuah bahasa universal yang telah ditetapkan Alloh sejak awal penciptaan."
Dia berdiri diam sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara pagi yang segar.
"Saya ingin kalian membayangkan sesuatu," lanjutnya. "Bayangkan jika bulan tiba-tiba memutuskan untuk berhenti mengelilingi bumi. Atau jika bumi tiba-tiba bosan dengan porosnya. Atau jika matahari memilih untuk tidak lagi menyinari. Apa yang akan terjadi?"
Kami semua terdiam, mencoba membayangkan kekacauan yang akan terjadi.
"Tapi itu tidak terjadi," ujarnya dengan senyum. "Mereka taat. Mereka setia pada jalurnya. Mereka patuh pada hukum alam yang telah ditetapkan. Inilah akhlak pertama yang harus kita pelajari: ketaatan yang ikhlas. Seperti bulan yang taat pada orbitnya, kita harus taat pada aturan sekolah, norma masyarakat, dan perintah agama. Ketaatan bukanlah keterbatasan, tetapi justru yang memberikan kita kebebasan yang sebenarnya."
Pak Fadllan kemudian melanjutkan berbicara, matanya yang teduh penuh kasih menyapu setiap wajah yang hadir.
"Tapi pelajaran terpenting justru datang dari bayangan itu sendiri," katanya, suaranya kini lebih berbisik. "Apa yang membuat bulan menjadi gelap? Apakah matahari berhenti bersinar? Tidak. Matahari tetap memancarkan cahayanya dengan setia. Masalahnya justru datang dari bumi kita sendiri. Bayangan bumi-lah yang menutupi cahaya bulan."
Dia berhenti sejenak, membiarkan kami mencerna makna dari kata-katanya.
"Ini adalah pelajaran tentang introspeksi," lanjutnya. "Seringkali, kegelapan dalam hidup kita, rasa malas yang menghinggapi, sikap kurang ajar yang kadang muncul, kata-kata kasar yang terlepas tanpa sadar, bukan datang dari luar. Tapi justru dari dalam diri kita sendiri. Dari bayangan-bayangan yang kita ciptakan sendiri."
Beberapa dari kami saling pandang, seolah sedang melakukan pemeriksaan diri secara cepat.
Pak Fadllan kemudian bercerita tentang Nabi Muhammad saw. "Bayangkan," katanya, "empat belas abad yang lalu, ketika gerhana terjadi, orang-orang jahiliyah berteriak ketakutan. Mereka menyangka dunia akan kiamat, atau ada raja yang akan meninggal. Tapi Nabi justru mengajak umatnya untuk shalat gerhana. Beliau tidak panik. Beliau terhubung dengan Sang Pencipta. Inilah akhlak seorang muslim, tetap tenang karena selalu ingat Alloh dalam setiap kondisi."
Kisahnya kemudian melompat ke zaman modern. "Sekarang, 'gerhana' itu ada di genggaman kita," ujarnya, mengangkat ponselnya. "Hoaks, berita bohong, informasi yang menyesatkan, itu adalah gerhana zaman sekarang. Tugas kalian adalah menjadi pembawa cahaya kebenaran, bukan penyebar kegelapan kebohongan."
Saya mendongak melihat langit yang sudah cerah. Bulan sudah tidak terlihat lagi, tetapi pesannya tetap tertinggal. Pak Fadllan menutup amanatnya dengan suara yang lembut namun dalam.
"Gerhana hanya terjadi sesaat, anak-anak. Tapi pelajarannya abadi. Jadilah seperti bulan yang taat pada orbitnya. Waspadalah terhadap bayangan kelalaian yang bisa datang dari dalam diri sendiri. Ingatlah Alloh dalam setiap kondisi. Dan jadilah pelita yang menerangi kegelapan dengan ilmu dan akhlakmu."
Upacara usai, tetapi kami masih terdiam sebentar. Seolah-olah kami baru saja menyaksikan gerhana untuk kedua kalinya, bukan di langit, tapi dalam diri kami masing-masing. Beberapa siswa masih melihat ke langit, seolah-olah mencari bekas-bekas dari fenomena semalam.
Hari itu, kami pulang dengan sebuah kesadaran baru, bahwa setiap fenomena alam adalah sebuah pesan, sebuah bisikan dari langit yang menunggu untuk kita dengarkan. Bahwa akhlak yang mulia itu adalah ketika kita bisa membaca pesan itu, lalu menuliskan jawabannya dengan tindakan nyata dalam keseharian kita.
Dan mungkin, itulah makna sebenarnya dari Pendidikan, bukan hanya mengisi kepala dengan fakta dan angka, tetapi juga mengasah hati untuk membaca tanda-tanda, baik yang tertera di buku pelajaran maupun yang terpampang di langit luas.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar