Dengan langkah berat bagai menempuh jarak seratus tahun, pria itu mendekat. Tubuhnya membungkuk dalam-dalam, seakan ingin menyentuh tanah, menjabat tangan gurunya yang sudah berkeriput dengan erat.
"Pak Guru," bisiknya, suaranya serak oleh emosi. "Apakah Bapak masih mengingat saya?"
Sang guru menyunggingkan senyum hangat, namun matanya menyiratkan kabut kelupaan. "Wajahmu... sangat familiar, Nak. Maafkan Bapak, ingatan ini sudah banyak yang terkikis."
"Tidak mungkin, Pak," bantah pria itu, senyumnya getir. "Bagaimana mungkin Bapak melupakan saya? Saya adalah anak yang dulu... hampir Bapak hancurkan." Kalimat itu menggantung, menusuk hening sejenak sebelum ia melanjutkan, "Saya adalah murid yang mencuri jam tangan temannya."
Seketika, udara berubah. Kilasan masa lalu yang kelam menyergap mereka berdua. Pria itu menarik napas dalam, suaranya bergetar memanggil hantu masa lalunya.
"Saat itu, tangisan teman saya memecah keheningan kelas. Dan Bapak... Bapak memutuskan untuk menggeledah. Saat itu juga, dunia saya runtuh. Jantung saya berdetak kencang bagai genderang perang yang menabuh tanda kehancuran. Saya membayangkan rasa malu yang akan membakar diri, cibiran yang akan seperti cambuk, dan cap 'pencuri' yang akan membayangi setiap langkah saya hingga ke liang kubur. Masa depan saya terasa pudar menjadi abu."
"Tapi kemudian," lanjutnya, air mata mulai mengalir tanpa bisa dibendung, "Bapak memerintahkan kami untuk berdiri menghadap tembok dan menutup mata. Saat tangan Bapak menyusuri saku celana saya, menyentuh logam jam yang terkutuk itu, seluruh tubuh saya membeku. Saya menunggu teriakan hukuman, tatapan tajam penghinaan. Tapi yang terjadi... adalah keheningan. Bapak terus bergerak, seolah hanya menyentuh angin. Bapak mengambil jam itu, tapi tidak mengambil nyawa saya."
"Yang Bapak lakukan setelahnya," ucapnya dengan lirih yang menyayat, "adalah sebuah pengorbanan yang saya pahami puluhan tahun kemudian. Bapak mengembalikan jam itu tanpa menyebut nama saya. Bahkan lebih dari itu, Bapak memilih untuk menjadi 'pelupa'. Tidak ada teguran, tidak ada bisikan. Bapak membiarkan insiden itu tenggelam dalam diamnya waktu. Bapak tidak hanya menyelamatkan saya dari kehancuran saat itu, tetapi Bapak mengubur rasa bersalah saya dengan memberikan saya kesempatan untuk membangun diri yang baru. Pengampunan Bapak itu sunyi, tapi gaungnya menggetarkan seluruh hidup saya."
"Bapak harus ingat, Pak. Karena saya adalah bukti nyata bahwa sebuah kebaikan diam-diam dapat membalikkan takdir. Rasa bersalah yang Bapak selamatkan dari penghancuran publik, berubah menjadi tekad baja untuk membuktikan bahwa anak itu layak untuk percaya kedua kalinya. Setiap kejujuran yang saya pegang, setiap kesuksesan yang saya raih, berakar dari belas kasih sunyi Bapak hari itu."
Sang guru terdiam lama. Matanya yang bijak memandang lelaki di hadapannya, seolah melihat kembali seorang anak muda yang ketakutan. Sebuah napas berat keluar dari dadanya, membawa serta beban yang telah dipikulnya dengan ikhlas.
"Nak," gumamnya, suaranya dalam dan penuh makna, "Bapak berkata tadi tidak ingat. Itu bukan karena kelupaan. Itu adalah sumpah yang Bapak ikrarkan pada diri sendiri sejak detik itu berakhir."
Pria itu terpana, napasnya tertahan.
"Ya," sang guru melanjutkan, tatapannya menerawang ke masa lalu. "Saat Bapak menyuruh kalian menutup mata, Bapak juga dengan sengaja membutakan hati ini. Bapak menolak untuk mengukir wajahmu, atau wajah siapapun, dalam ingatan Bapak sebagai 'si pencuri'. Bagaimana Bapak bisa mengajarkan kebaikan jika di sudut hati ini menyimpan prasangka? Bagaimana Bapak bisa memandangmu dengan kasih yang sama jika Bapak tahu? Pengampunan yang sejati, Nak, dimulai dengan kesediaan untuk tidak pernah tahu siapa yang harus diampuni. Bapak memilih untuk tidak mengenalimu dalam kegelapanmu, agar Bapak dapat selalu melihatmu dalam cahaya potensimu. Bapak memberimu bukan sekadar maaf, tetapi sebuah kanvas kosong untuk kau lukis sendiri dengan warna-warna kebaikan. Dan hari ini, kau telah membawakan sebuah mahakarya."
Dalam kesunyian yang merasuk ke segala penjuru, dua jiwa itu saling terhubung. Air mata yang mengalir bukan lagi air mata penyesalan, tetapi air mata penyucian. Sebuah pengorbanan yang dilakukan dalam kesunyian sebuah kelas puluhan tahun silam, akhirnya berbuah pada pertemuan ini. Mereka bukan lagi guru dan murid yang bersalah, melainkan dua manusia yang diikat oleh sebuah kebenaran abadi: bahwa kadang-kadang, cinta yang paling dalam justru diungkapkan melalui apa yang dengan sengaja tidak kita lihat, dan pengampunan yang paling kuat adalah yang diberikan bahkan sebelum sebuah permintaan maaf diucapkan.

Mari #Membaca
BalasHapus