Santri, Sejarah, dan Jiwa Patriotisme
Peringatan Hari Santri bukan sekadar ritual tahunan, melainkan penggalian kembali memori kolektif tentang peran sentral kaum santri dalam membidani kelahiran dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jiwa patriotisme santri telah mengalir deras sejak era resolusi jihad KH. Hasyim Asy’ari, yang membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk bertempur habis-habisan melawan penjajah. Semangat ini lahir dari pemahaman agama yang mendalam bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari iman, dan membela kedaulatan bangsa adalah manifestasi dari jihad fi sabilillah. Santri, dengan bekal ilmu agama yang kokoh, tidak pernah memisahkan antara urusan ubudiyah (hablum minallah) dengan komitmen kebangsaan (hablum minannas). Mereka adalah pilar yang menjembatani nilai-nilai ketuhanan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dalam konteks kekinian, gelora ini diterjemahkan dalam bentuk ketangguhan mental, moralitas yang luhur, dan sikap cinta tanah air yang menjadi benteng dari pengaruh globalisasi yang merapuhkan jati diri bangsa. Santri hari ini adalah penjaga gawang NKRI, yang dengan lantang menyuarakan moderasi Islam dan persatuan di atas segala perbedaan.
Ayat
Al-Qur'an QS. Al-Mujadilah ayat 11:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, 'Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,' maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, 'Berdirilah kamu,' maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.”
Ayat
ini menegaskan keutamaan orang berilmu (seperti santri) yang diangkat
derajatnya oleh Allah. Derajat yang tinggi ini membawa tanggung jawab
besar untuk memberikan kontribusi terbaik, termasuk dalam berbangsa
dan bernegara.
Santri
sebagai Agen Perdamaian dan Pemersatu Bangsa
Di tengah riuhnya panggung politik dan sosial yang rentan memecah belah, santri hadir sebagai *agent of peace* dan perekat persatuan. Pesantren, sebagai miniatur Indonesia, mengajarkan kehidupan dalam keberagaman, tenggang rasa, dan kesederhanaan. Nilai-nilai inilah yang dibawa santri ke tengah masyarakat. Mereka aktif meredakan ketegangan, meluruskan narasi radikal, dan menjadi penyejuk di tengah masyarakat yang dahaga akan ketenangan. Gelora Hari Santri memompa semangat untuk lebih proaktif dalam membangun dialog antaragama, antarsuku, dan antargolongan. Santri tidak hanya pandai membaca kitab kuning, tetapi juga membaca realitas sosial bangsanya. Dengan bekal ilmu tafsir, hadits, dan fikih yang mendalam, mereka mampu merumuskan fikih kebinekaan, fikih toleransi, dan fikih kenegaraan yang kontekstual. Santri mengajak seluruh elemen bangsa untuk melihat perbedaan bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai anugerah dan sunnatullah yang harus dikelola dengan bijak. Kontribusi nyata mereka dalam menjaga kerukunan adalah wujud nyata dari semangat Hari Santri untuk negeri.
Ayat
Al-Qur'an QS. Al-Hujurat ayat 13:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Ayat
ini adalah landasan ilahiah bagi kehidupan berbangsa yang
multikultural. Santri, dengan pemahaman ayat ini, menjadi garda
terdepan dalam mempromosikan “ta'aruf” (saling mengenal) untuk
merajut perdamaian, bukan konflik, demi keutuhan negeri.
Santri
dan Penguasaan Ilmu Pengetahuan untuk Kemajuan Negeri
Gelora Hari Santri di era disrupsi teknologi harus diwujudkan dalam bentuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sejalan dengan IMTAQ. Santri tidak boleh gagap teknologi, tetapi harus menjadi pionir dalam pemanfaatan teknologi untuk kemaslahatan umat. Mulai dari menjadi *content creator* yang menebar konten positif, programmer yang mengembangkan aplikasi bernilai religi, hingga ilmuwan Muslim yang berkontribusi dalam sains dan kedokteran. Pesantren sebagai *center of excellence* harus mendorong santri-santrinya untuk tidak hanya mengkaji ilmu agama tradisional, tetapi juga membuka diri terhadap perkembangan sains modern. Integrasi antara ilmu falaq dengan astronomi, antara thibbun nabawi dengan kedokteran modern, atau antara ilmu falak dengan geografi adalah masa depan peradaban Islam Indonesia. Santri yang unggul secara ilmu duniawi dan ukhrawi inilah yang akan menggerakkan roda pembangunan negeri, menciptakan kemandirian ekonomi, dan menjawab berbagai tantangan global dengan solusi yang inovatif dan berlandaskan nilai-nilai ketuhanan.
Ayat
Al-Qur'an QS. Az-Zumar ayat 9:
“Apakah
kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah
pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab)
akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, 'Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?' Sebenarnya, hanya orang yang berakal sehat yang dapat
menerima pelajaran.”
Ayat ini dengan tegas memisahkan antara orang yang berilmu dan yang tidak. Gelora Hari Santri harus mendorong santri untuk menjadi golongan pertama yang tak hanya tekun ibadah tetapi juga haus akan ilmu pengetahuan, sebagai bekal memajukan negeri.
Kesimpulan,
secara hakiki, Gelora Hari Santri Untuk Negeri adalah sebuah gerakan
kolektif untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam rahmatan lil
'alamin dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semangat
ini adalah energi positif yang mendorong santri untuk keluar dari
"menara gading" pesantren dan terjun langsung membangun
negeri dengan segala kemampuan yang dimiliki. Dari menjaga persatuan,
menebar perdamaian, hingga berinovasi dalam ilmu pengetahuan, setiap
langkah santri adalah wakaf untuk Indonesia yang lebih baik.
Peringatan Hari Santri mengingatkan kita semua bahwa kontribusi
santri tidak pernah berhenti pada masa lalu, tetapi terus bergelora
menyinari masa depan negeri ini dengan cahaya ilmu, akhlak, dan
pengabdian yang tulus.
Hadits Nabi Muhammad SAW:
Diriwayatkan dari Anas bin Malik R.A, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, Ad-Daruqutni. Hadits ini dinilai hasan oleh Al-Albani).
Hadits
ini adalah kristalisasi dari seluruh semangat Hari Santri. Ukuran
keberhasilan seorang santri bukanlah pada seberapa banyak ilmunya,
tetapi pada seberapa besar manfaat yang dapat dia berikan kepada
sesama manusia dan bagi negerinya. Inilah puncak dari gelora
tersebut: menjadi santri yang menjadi "khairun naas"
(sebaik-baik manusia) bagi Indonesia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar