Jumat, 10 Oktober 2025

Membangun Sekolah Damai melalui Empati dan Rasa Keadilan

Konsep toleransi dalam kehidupan sekolah seringkali hanya dimaknai sebagai bentuk "ketahanan" terhadap perbedaan - sebuah sikap pasif yang membiarkan orang lain eksis tanpa gangguan. Namun, dalam konteks membangun sekolah yang benar-benar damai, pendekatan ini tidak lagi memadai. Toleransi pasif dapat menciptakan lingkungan yang "dingin" di mana setiap kelompok tetap berada dalam tembok prasangkanya masing-masing, tanpa terjadinya pertukaran empati yang mendalam. Sekolah damai membutuhkan langkah yang lebih transformatif, yaitu dengan menumbuhkan empati dan keadilan sebagai dua pilar utama. Empati mendorong kita untuk tidak hanya mengakui perbedaan, tetapi benar-benar merasakan apa yang orang lain rasakan, memahami perspektifnya, dan tergerak untuk memberikan respons yang manusiawi. Sementara keadilan memastikan bahwa setiap suara didengar, setiap hak dipenuhi, dan setiap perlakuan didasarkan pada prinsip kesetaraan yang inklusif. Fondasi filosofis ini sejalan dengan ajaran Islam dalam Al-Qur'an Surah Al-Hujurat ayat 13: "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (li ta'arafu)." Ayat ini tidak sekadar memerintahkan untuk bertahan terhadap perbedaan, tetapi secara aktif menyerukan untuk "saling mengenal" - sebuah proses dinamis yang membutuhkan empati yang mendalam dan keadilan dalam memandang setiap individu.

 

Empati sebagai pilar pertama bukanlah sekadar perasaan, melainkan otot sosial yang harus terus dilatih melalui pendidikan karakter yang sistematis. Di lingkungan sekolah, empati dapat dikembangkan melalui integrasi dalam kurikulum dan budaya sekolah sehari-hari. Guru dapat menggunakan metode pembelajaran yang meminta siswa untuk memposisikan diri sebagai orang lain, misalnya melalui simulasi konflik, diskusi terpandu tentang isu-isu multikultural, atau analisis karya sastra yang merepresentasikan berbagai perspektif budaya. Ketika siswa membaca tentang perjuangan seorang anak dari minoritas tertentu, atau menyimak pengalaman teman sebangku yang berasal dari daerah terpencil, mereka belajar melihat dunia melalui kacamata orang lain. Lebih penting lagi, empati diajarkan melalui keteladanan nyata. Seorang guru yang dengan tulus mendengarkan keluh kesah siswa, atau seorang kepala sekolah yang dengan sabar menengahi konflik dengan memahami perasaan semua pihak, menjadi living curriculum yang sangat powerful. Rasulullah SAW telah mencontohkan dasar empati ini dalam sabdanya: "Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kamu hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri." (HR. Bukhari dan Muslim). Seorang siswa yang beriman tidak akan mendzolimi, mengucilkan, atau merundung temannya karena pada hakikatnya, ia menginginkan kebaikan yang sama untuk temannya seperti yang ia inginkan untuk dirinya sendiri.

 

Pilar kedua yang tak kalah crucial adalah penegakan keadilan sebagai fondasi utama membangun kepercayaan dan rasa aman. Keadilan di sekolah harus dimaknai sebagai komitmen untuk memastikan bahwa setiap siswa, tanpa memandang latar belakang, kemampuan, status sosial, atau identitas lainnya, diperlakukan secara adil, mendapat akses yang setara terhadap peluang pengembangan diri, dan dilindungi hak-hak dasarnya. Implementasinya memerlukan kebijakan yang jelas dan konsisten terhadap segala bentuk diskriminasi dan perundungan, sistem penghargaan dan sanksi yang transparan, serta mekanisme pengaduan yang mudah diakses dan dipercaya. Keadilan dalam konteks ini juga berarti keadilan distributif - memberikan perhatian dan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik masing-masing siswa. Allah SWT memberikan panduan yang sangat jelas dalam Al-Qur'an Surah Al-Ma'idah ayat 8: "Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa." Ayat ini mengingatkan setiap pendidik dan siswa untuk tidak membiarkan prasangka atau ketidaksukaan pribadi mengaburkan prinsip keadilan. Sekolah yang menegakkan keadilan akan menumbuhkan trust dari seluruh warganya, dan dari kepercayaan inilah kedamaian yang sejati akan lahir dan berkembang.

 

Kekuatan transformatif justru muncul ketika empati dan keadilan diintegrasikan dalam praktik keseharian sekolah. Pendekatan restorative justice dalam menangani konflik menjadi contoh ideal bagaimana kedua nilai ini bersinergi. Alih-alih hanya menghukum pelaku berdasarkan aturan baku, semua pihak yang terlibat diajak untuk duduk dalam lingkaran dialog - sebuah ruang dimana empati dikedepankan untuk menyampaikan perasaan dan dampak yang dialami masing-masing pihak, kemudian bersama-sama mencari solusi yang memulihkan hubungan dan menegakkan keadilan yang reparatif. Dalam proses pembelajaran, kerja kelompok dapat dirancang secara strategis untuk membaurkan siswa dari latar belakang berbeda, memfasilitasi mereka untuk berlatih empati melalui komunikasi intensif sambil memastikan pembagian tugas yang adil. Nilai-nilai ini menemukan resonansinya dalam ajaran Islam tentang ihsan. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat ihsan (kebaikan) pada segala sesuatu... Maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang di antara kamu menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya." (HR. Muslim). Jika kepada hewan saja kita diperintahkan untuk berempati dan berbuat baik, terlebih lagi kepada sesama manusia di lingkungan sekolah.

 
Dengan konsisten menanamkan dan mempraktikkan empati serta keadilan, sekolah tidak hanya menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman, tetapi sedang membentuk generasi yang menjadi agen perdamaian di masyarakat yang lebih luas. Sekolah damai adalah prototipe dari "Masyarakat Madani" (Civil Society) yang dicita-citakan - masyarakat yang berperadaban tinggi, saling peduli, dan tegak di atas prinsip keadilan universal. Perjalanan menuju sekolah damai ini adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa yang lebih harmonis dan berkeadaban. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-An'am ayat 152: "Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun dia adalah kerabat(mu)." Ketegasan ini mengajarkan bahwa keadilan harus ditegakkan dalam segala kondisi dan hubungan. Melalui komitmen kolektif untuk melampaui toleransi pasif, dan secara aktif mempraktikkan empati serta keadilan dalam setiap interaksi, kita dapat mewujudkan sekolah yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga menjadi oasis kedamaian yang dirindukan oleh setiap peserta didik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar