Dari Kongres 1928 ke Timeline Medsos 2025, Masih Relevankah?
Bayangkan ini: tahun 1928. Nenek moyang kita berkumpul tanpa gedung ber-AC, tanpa PowerPoint, apalagi Wi-Fi. Mereka mungkin hanya bermodal semangat membara, suara lantang, dan keyakinan bahwa persatuan itu bisa diraih. Lalu, lahirlah Sumpah Pemuda. Sekarang, kita di tahun 2025. Dunia kita adalah dunia yang super cepat. Jari-jari kita lebih gesit mengetik di keyboard atau men-scroll timeline media sosial daripada lidah kita berdebat. Pertanyaannya, buat kita yang hidup di era di mana "story" Instagram lebih sering berubah daripada cuaca, masih relevankah semangat Sumpah Pemuda itu? Jawabannya: Bukan cuma relevan, tapi justru lebih penting dari sebelumnya! Cuma, bentuk perjuangannya yang beda. Dulu, musuhnya adalah penjajah yang kasat mata. Sekarang, musuhnya lebih siluman: hoax yang menyebar lebih cepat daripada gosip artis, perundungan siber (cyberbullying), degradasi akhlak, dan yang paling berbahaya, rasa individualisme yang akut, alias "yang penting gue happy, urusan lo urusan lo." Nah, di sinilah kita, para remaja milenial Muslim, harus jeli. Sumpah Pemuda bukan cuma tentang mengingat sejarah dalam buku teks yang membosankan, tapi tentang menghidupkan ruhnya dalam konteks kekinian. Rasulullah SAW bahkan sudah memberikan isyarat tentang pentingnya pemuda dalam sabdanya: “*Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu...*” (HR. Al-Hakim). Masa muda kita adalah ‘modal saham’ yang nilainya luar biasa, jangan sampai habis hanya untuk ‘nongkrong’ yang nggak jelas atau ‘rebahan’ yang berlebihan. Yuk, kita refleksi, supaya semangat Sumpah Pemuda nggak cuma jadi hashtag #SumpahPemuda2025 yang tren sehari lalu hilang!






